Selasa, 25 Maret 2008

Keluarga; Dasar Pendidikan Untuk Anak
Oleh Hendro Sucipto

“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah Swt terhadap apa yang Ia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At-Tahrim;6)”

Kisah-kisah Nabi yang menarik untuk kita kaji dan dijadikan sebagai mutiara hikmah dalam kehidupan sekarang dan dapat dimaknai sebagai kisah tauladan dalam suatu keluarga adalah kisah Nabi Zakaria AS yang digambarkan kerinduannya untuk mendapatkan anak keturunan, walaupun beliau sudah lanjut usia dan istrinya yang mandul, karena keinginannya yang kuat terhadap pewarisan nilai-nilai perjuangan yang dimiliki keluarganya yaitu keluarga Nabi Ya’qub AS yang menjadi nenek moyangnya. Dalam kisah lain diterangkan di dalam Al-Qur’an adalah kisah Nabi Ibrahim AS yang selalu berwasiat kepada anak keturunannya tentang siapa yang akan mereka sembah (yang diibadati) setelah mereka meninggal dunia, dan nabi-nabi yang lainnya. Para Nabi Allah tersebut memang telah teruji kesabaran dan keulutannya dalam menjalankan perintah Allah Swt.
Dari kisah-kisah ini memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga bahwa posisi dan kedudukan keluarga mempuyai peran yang sangat strategis dan sangat menentukan dalam upaya pembentukan karakter generasi. Sehingga muncul sebuah pernyataan bahwa generasi yang baik pada umumnya lahir dari keluarga yang baik, dan juga sebaliknya, dari keluarga yang kehidupan kesehariaanya berantakan, tidak dapat banyak diharapkan munculnya generasi yang memiliki watak dan kepribadian yang baik dan bertanggungjawab. Sehingga dari sini dapat diambil sebuah makna bahwa kondisi kehidupan kesehariaan sangat menentukan karakter dan kepribadian anak atau juga dapat diartikan bahwa keluarga sebagai dasar pendidikan untuk anak.
Allah SWT berfirman dalam QS. At-Tahrim ayat 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah Swt terhadap apa yang Ia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At-Tahrim;6)”. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kita sebagai manusia harus dapat menjaga diri sendiri dan terlebih keluarga kita. Karena keluarga sebagai salah satu pendidikan yang kuat dan mendasar dalam kehidupan sekarang dan mendatang. Peran kedua orang tua dalam suatu keluarga sangat menentukan, yaitu terutama menjadi contoh dan suri teladan bagi anak-anaknya. Bahasa teladan dan amal perbuatan ternyata jauh lebih efektif daripada bahasa lisan serta suruhan yang bersifat verbal. Anak-anak melihat apa yang dilakukan, bukan semata-mata mendengar apa yang diperintahkan. Dan terlebih lagi, akan sangat berbahaya bagi pembentukan karakter anak apabila selalu terjadi kontradiksi antara perkataan dengan perbuatan.
Hal yang lebih penting lagi adalah pemenuhan kebutuhan hidup keluarga selalu diusahakan semaksimal mungkin dengan rezeki yang halal dan baik, di samping do’a dan permohonan pada Allah Swt. Sebab rezeki yang halal akan mendorong pada perilaku yang baik, juga sebaliknya, rezeki yang haram akan mendorong pada perilaku yang buruk dan merusak. Rasulullah SAW bersabda : "Setiap daging yang tumbuh dari rezeki yang haram, maka neraka akan lebih utama baginya” Artinya rezeki yang haram akan selalu mengakibatkan perilaku yang mencelakakan kehidupan di dunia maupun di akhirat. Sehingga dari penjelasan surat At-Tahrim ayat 6 ini, dapat diambil garis tengahnya bahwa kehidupan didunia ini sangat menentukan kehidupan selanjutnya yaitu diakhirat. Makanya Allah telah mengingatkan orang-oranng yang beriman kepada-Nya bahwa siksanya sangat pedih, bila manusia tidak menjalankan apa yang telah diperintahkan-Nya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya.
Ada beberapa cerita menarik yang dapat pembaca cermati bahwa dalam keluarga orang tua mempuyai peranan yang sangat penting dalam pendidikan seorang anak, terlapas dari semua itu lingkungan masyarakat dimana ia tinggal juga mempuyai dampak yang besar dalam proses pendewasaan seorang anak untuk dapat membedakan yang baik dan yang tidak baik.
“Pagi itu seorang ibu beserta anaknya dengan wajah yang tegang sedang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Setelah tibanya dirumah petugas itu, pertemuan merakapun tidak lebih dari 10 menit, Ibu dan anaknya segera pamit, dan pulang dengan wajah ceria. Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang telah terjadi?. Rupanya ibu dan anak itu berhasil memperoleh bocoran soal beserta jawaban ujian setelah membayar dengan sejumlah uang yang telah mereka sepakati kepada salah satu aparat pemerintahan yang temuinya.”
Apa yang signifikan dalam peristiwa sederhana ini? Jika peristiwa yang telah terjadi ini direnungkan, kita akan menemukan suatu hal sudah jelas bahwa orangtua telah menanamkan penyakit buruk kehidupan kepada anaknya, bahwa kesuksesan dapat dibeli dengan uang dengan cara menyuap dan menyogok, dan semua itu dianggap sah-sah saja. Bahkan lingkungan pemerintahan yang digambarkan dalam peristiwa ini mencerminkan kurang jujur dalam menjalankan tugasnya, Ia telah menanamkan dan juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Pagi itu, orangtua telah merobohkan prinsip kejujuran pada anaknya. Akibatnya, jika suatu saat orang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar. Singkatnya, secara moral orangtua tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya.
Beberapa gambaran kisah diatas dapat kita kaitkan dengan hadis nabi: ”Pada dasarnya seorang manusia dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah) kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikan mereka menjadi Majuzi, Nasrani dan Yahudi”. Maksudnya, seorang manusia yang dilahirkan kedunia ini pada dasarnya adalah suci (bersih) kelurganya dan lingkungan yang akan membentuk karakternya. Lebih khusus lagi orang tua dalam keluarga, ini sangat menentukan sekali dalam perkembangan emosional anak, dapat di ibaratkan seorang anak yang bersih bagai kertas putih tanpa goresan tinta. Orang tualah yang akan menggoreskan tinta dalam kertas itu.
Kalau dalam paragraf sebelumnya telah dijelaskan bahwa keluarga merupakan dasar pendidikan bagi anak, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pendidikan formal yang ada sekarang ini juga mempuyai peran yang tidak kalah pentinnya dengan keluarga. Karena dalam pendidikan formal juga dapat membentuk karakter seorang anak didiknya, hal ini diungkapkan salah satu tokoh pendidikan, bahwa pendidikan yang akan memunculkan karakter ada empat yaitu: Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan pada hierarki nilai. Sehingga nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan anak didik; Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang; Ketiga, otonomi, seseorang menghubungkankan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain; Keempat, keteguhan dan kesetiaan, Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan yang berkarakter akan memunculkan seorang anak didik yang mudah menentukan arah tujuan hidupnya. Dengan moral yang tertata akan dapat mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Terkait dengan hal itu bimbingan orang-orang terdekatnya sangat diperlukan dalam perkembangannya, sehingga kalau diterapkan keluarga sebagai dasar pendidikan anak yang akan membentuk kepribadian dan pendidikan diimbangi dengan pendidikan formal yang dapat membentuk karakter dalam bersikap tidak akan terjadi penyimpangan norma-norma ajaran agama. Juga pesan yang telah disampaikan oleh Nabi-nabi Allah Swt sebelumnya, agar manusia tetap beribadah kepada Allah akan tetap terjaga hingga akhir kehidupan. Sehingga kita akan siap dengan kehidupan yang kekal yaitu Akhirat. Semoga dengan tulisan ini masyarakat luas dapat mecermati realita kehidupan sekarang ini sehingga dapat menjaga diri sendiri dan keluarganya dari api neraka. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.
Penulis Mahasiswa Tafsir Hadist UIN SUKA Yogyakarta

Tidak ada komentar: