Jumat, 12 September 2008

Konsep Tentang Roh Menurut Emile Durkheim[1]

Konsep Tentang Roh Menurut Emile Durkheim[1]

Oleh: Adi Park

Pada masyarakat Australia ada pengakuan entitas lebih tinggi berada di atas dan berada di luar jiwa, seperti arwah, pahlawan-pahlawan mitos, dewa-dewi, serta lainnya. Perlu diketahui bahwa jiwa bukanlah roh. Jiwa merupakan sesuatu yang terkurung dalam tubuh, sekalipun pada saat tertentu akan meninggalkannya. Perginya jiwa tersebut terjadi ketika kematian menjemput. Proses perginya jiwa bisa dilihat dari kesakitan dan penderitaan yang dialami oleh individu yang sedang mengalami pemisahan.

Pada prinsipnya jiwa dan roh memiliki kebebasan dalam geraknya. Ia memiliki jangkauan yang luas, akan tetapi roh terikat dengan benda khusus yang ditempatinya, seperti mata air, batu-batu, pohon, bintang-bintang, dan lain-lain. berbeda dengan roh, jiwa tidak bisa bergerak bebas ketika terikat dengan tubuh, tetapi apakah setelah terpisah kebebasan jiwa baru terjadi. Perbedaan antara roh dan jiwa terjawab pada kasus jiwa orang Arunta dan roh leluhur yang ternyata berkedudukan sama.

Jiwa yang terpisah dari jasadnya, jasad tersebut dikubur. Akan tetapi jiwa itu untuk beberapa saat lainnya akan tetap berada di sekitar kubur, bahkan jalan-jalan keliling lingkungan kuburan untuk hal-hal yang bersifat positif. Asumsi inilah yang kemudian memunculkan anggapan bahwa, jiwa tersebut sebagai jiwa leluhur yang baik hati karena telah memelihara anggota keluarganya. Banyak kasus yang kita temui di masyarakat, roh bapak telah menjaga anak cucunya, tetapi kadang roh tersebut juga melakukan kemungkaran, tergantung perlakuan pada mood dan perlakuan mereka yang masih hidup kepadanya.

Walaupun tempat bersemayamnya roh yang sebenarnya adalah di dalam tanah, namun ia tetap mencari tempat lainnya seperti tersebut di atas (pohon, air, batu, etc.). nah, tempat singgahan baru inilah yang kemudian dianggap bisa mewakili tubuh roh tersebut. Roh akan terus berada di sana secara permanent. Kemudian, roh tersebut menimbulkan perasaan respek religius, sehingga seseorang yang mematahkan cabang pohon tersebut akan jatuh sakit.

Di Indonesia, tepatnya di Pesarean Gunung Kawi Malang Jawa Timur, terdapat pohon yang disakralkan. "Dewan Daru" adalah nama pohonnya. Pohon tersebut tumbuh di samping Makam Mbah Jogo dan Imam Soedjono, yang dianggap seorang wali oleh masyarakat sekitar. Menurut sejarahnya, pohon ini umurnya sudah ratusan tahun, hingga sekarang tidak ada yang berani menebangnya, jangankan menebang, untuk memetik daunnya saja tidak diperkenankan. Tidak ada aturan formal mengenai larangan ini, akan tetapi banyaknya kejadian yang menimpa orang yang melanggar aturan tersebut membuat orang semakin takut untuk melakukannya. Sakit yang tidak kunjung sembuh, selama dua pekan terjebak di pesarean adalah contoh kasusnya.



[1] Lebih lanjut baca Emile Durkheim, Sejarah Agama: The Elementay of Te Religius Life (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005)

Mengenal Elit dalam Masyarakat


Mengenal Elit dalam Masyarakat

Oleh: Adi Park

Dalam Seluruh Tindakan Sosial, Para Pencipta adalah Individu yang Kreatif

(Sejarawan Arnold Toynbee)

Apa itu Elit?

Istilah elit sudah dikenal sejak abad ke-17 untuk menunjuk barang-barang yang mempunyai kualitas tinggi. Penggunaan kata tersebut, seiring berjalannya waktu, dipakai untuk menunjuk pada kelompok sosial yang unggul, unit-unit militer kelas satu, bahkan pada tingkat bangsawan.[1]

Vilfredo Pareto, seorang Sosiolog, mendefinisikan elit dengan dua cara yaitu: individu dilihat dari kelebihan dan kekurangan yang nampak di dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh untuk melihat perbedaan kelebihan dapat digunakan dengan indeks, dan ini seringnya digunakan dalam kelas, yaitu anak yang bisa mengerjakan soal akan mendapat nilai 10 (sepuluh), tetapi yang tidak bisa akan mendapat nilai nol (0).[2]

Kelompok elit, dalam realitas masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu ekonomis, politis, dan kelompok yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu. Dari ketiga kelompok tersebut, mempunyai hubungan erat satu dengan yang lainnya. Misal, kelompok politis biasanya jua orang yang mempunyai ekonomi, begitu sebaliknya.

Menjadi Elit?

Munculnya kelompok tersebut, merupakan proses yang terjadi di dalam masyarakat. Namun demikian, ada juga yang dibuat untuk mengejar tujuan bersama. Hal tersebut terjadi karena adanya unsur kepandaian, tingkat umur (senior), sifat asli yang dimiliki anggota kerabat dari seorang kepala masyarakat, dan tidak dipungkiri juga terbentuk oleh harta yang dimiliki dalam batas-batas tertentu.[3]

Untuk melihat kemampuan kelompok elit dalam mempertahankan posisinya, ditentukan oleh bisa dan tidaknya kelompok-kelompok tersebut ketika mempertahankan posisi dan masih mempunyai pengaruh di tengah masyarakat yang berubah, yaitu menciptakan masyarakat yang beradab.

Penciptaan masyarakat yang beradab inilah yang kemudian membentuk orang untuk menjadi elit, yaitu kemampuan yang dimiliki. Untuk itu, kesadaran apabila ada keinginan untuk masuk dalam kategori tersebut diperlukan usaha keras agar kualitas diri dimiliki, ditingkatkan.

Namun, tidak semua orang harus melakukan hal yang sama, karena tiap orang berada pada posisi yang berbeda. Hal tersebut seperti dijelaskan oleh Weber (yang khusus membahas pada tradisional), dalam tiga bagian, yaitu tradisional, karismatik, dan rasional legal. Untuk rasional legal, terdapat pada masyarakat barat modern, ini disebabkan oleh tingkat rasionalitas yang tinggi. Akan tetapi, untuk tradisional tidak berdasar pada sistem kepercayaan yang dilihat dari garis keturunan keluarga. Sedangkan karismatik lebih disebabkan oleh kemampuan yang luar biasa atau memiliki ciri-ciri yang tertentu yang diakui kelompoknya.[4]



[1] T.B.Bottomore, Elit dan Masyarakat, terj.Abdul Harris dan Sayid Umar, (Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006), hlm.1.

[2] Ibid., hlm.1.

[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, edisi baru ke-empat, (Jakarta: PT Raja GRafindo, 1990), hlm.253-254.

[4] George Ritzer dan Douglas J.Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj.Alimandan (Jakarta: Prenada, 2004), hlm.37-38.

Selasa, 25 Maret 2008

Keluarga; Dasar Pendidikan Untuk Anak
Oleh Hendro Sucipto

“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah Swt terhadap apa yang Ia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At-Tahrim;6)”

Kisah-kisah Nabi yang menarik untuk kita kaji dan dijadikan sebagai mutiara hikmah dalam kehidupan sekarang dan dapat dimaknai sebagai kisah tauladan dalam suatu keluarga adalah kisah Nabi Zakaria AS yang digambarkan kerinduannya untuk mendapatkan anak keturunan, walaupun beliau sudah lanjut usia dan istrinya yang mandul, karena keinginannya yang kuat terhadap pewarisan nilai-nilai perjuangan yang dimiliki keluarganya yaitu keluarga Nabi Ya’qub AS yang menjadi nenek moyangnya. Dalam kisah lain diterangkan di dalam Al-Qur’an adalah kisah Nabi Ibrahim AS yang selalu berwasiat kepada anak keturunannya tentang siapa yang akan mereka sembah (yang diibadati) setelah mereka meninggal dunia, dan nabi-nabi yang lainnya. Para Nabi Allah tersebut memang telah teruji kesabaran dan keulutannya dalam menjalankan perintah Allah Swt.
Dari kisah-kisah ini memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga bahwa posisi dan kedudukan keluarga mempuyai peran yang sangat strategis dan sangat menentukan dalam upaya pembentukan karakter generasi. Sehingga muncul sebuah pernyataan bahwa generasi yang baik pada umumnya lahir dari keluarga yang baik, dan juga sebaliknya, dari keluarga yang kehidupan kesehariaanya berantakan, tidak dapat banyak diharapkan munculnya generasi yang memiliki watak dan kepribadian yang baik dan bertanggungjawab. Sehingga dari sini dapat diambil sebuah makna bahwa kondisi kehidupan kesehariaan sangat menentukan karakter dan kepribadian anak atau juga dapat diartikan bahwa keluarga sebagai dasar pendidikan untuk anak.
Allah SWT berfirman dalam QS. At-Tahrim ayat 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah Swt terhadap apa yang Ia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At-Tahrim;6)”. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kita sebagai manusia harus dapat menjaga diri sendiri dan terlebih keluarga kita. Karena keluarga sebagai salah satu pendidikan yang kuat dan mendasar dalam kehidupan sekarang dan mendatang. Peran kedua orang tua dalam suatu keluarga sangat menentukan, yaitu terutama menjadi contoh dan suri teladan bagi anak-anaknya. Bahasa teladan dan amal perbuatan ternyata jauh lebih efektif daripada bahasa lisan serta suruhan yang bersifat verbal. Anak-anak melihat apa yang dilakukan, bukan semata-mata mendengar apa yang diperintahkan. Dan terlebih lagi, akan sangat berbahaya bagi pembentukan karakter anak apabila selalu terjadi kontradiksi antara perkataan dengan perbuatan.
Hal yang lebih penting lagi adalah pemenuhan kebutuhan hidup keluarga selalu diusahakan semaksimal mungkin dengan rezeki yang halal dan baik, di samping do’a dan permohonan pada Allah Swt. Sebab rezeki yang halal akan mendorong pada perilaku yang baik, juga sebaliknya, rezeki yang haram akan mendorong pada perilaku yang buruk dan merusak. Rasulullah SAW bersabda : "Setiap daging yang tumbuh dari rezeki yang haram, maka neraka akan lebih utama baginya” Artinya rezeki yang haram akan selalu mengakibatkan perilaku yang mencelakakan kehidupan di dunia maupun di akhirat. Sehingga dari penjelasan surat At-Tahrim ayat 6 ini, dapat diambil garis tengahnya bahwa kehidupan didunia ini sangat menentukan kehidupan selanjutnya yaitu diakhirat. Makanya Allah telah mengingatkan orang-oranng yang beriman kepada-Nya bahwa siksanya sangat pedih, bila manusia tidak menjalankan apa yang telah diperintahkan-Nya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya.
Ada beberapa cerita menarik yang dapat pembaca cermati bahwa dalam keluarga orang tua mempuyai peranan yang sangat penting dalam pendidikan seorang anak, terlapas dari semua itu lingkungan masyarakat dimana ia tinggal juga mempuyai dampak yang besar dalam proses pendewasaan seorang anak untuk dapat membedakan yang baik dan yang tidak baik.
“Pagi itu seorang ibu beserta anaknya dengan wajah yang tegang sedang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Setelah tibanya dirumah petugas itu, pertemuan merakapun tidak lebih dari 10 menit, Ibu dan anaknya segera pamit, dan pulang dengan wajah ceria. Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang telah terjadi?. Rupanya ibu dan anak itu berhasil memperoleh bocoran soal beserta jawaban ujian setelah membayar dengan sejumlah uang yang telah mereka sepakati kepada salah satu aparat pemerintahan yang temuinya.”
Apa yang signifikan dalam peristiwa sederhana ini? Jika peristiwa yang telah terjadi ini direnungkan, kita akan menemukan suatu hal sudah jelas bahwa orangtua telah menanamkan penyakit buruk kehidupan kepada anaknya, bahwa kesuksesan dapat dibeli dengan uang dengan cara menyuap dan menyogok, dan semua itu dianggap sah-sah saja. Bahkan lingkungan pemerintahan yang digambarkan dalam peristiwa ini mencerminkan kurang jujur dalam menjalankan tugasnya, Ia telah menanamkan dan juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Pagi itu, orangtua telah merobohkan prinsip kejujuran pada anaknya. Akibatnya, jika suatu saat orang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar. Singkatnya, secara moral orangtua tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya.
Beberapa gambaran kisah diatas dapat kita kaitkan dengan hadis nabi: ”Pada dasarnya seorang manusia dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah) kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikan mereka menjadi Majuzi, Nasrani dan Yahudi”. Maksudnya, seorang manusia yang dilahirkan kedunia ini pada dasarnya adalah suci (bersih) kelurganya dan lingkungan yang akan membentuk karakternya. Lebih khusus lagi orang tua dalam keluarga, ini sangat menentukan sekali dalam perkembangan emosional anak, dapat di ibaratkan seorang anak yang bersih bagai kertas putih tanpa goresan tinta. Orang tualah yang akan menggoreskan tinta dalam kertas itu.
Kalau dalam paragraf sebelumnya telah dijelaskan bahwa keluarga merupakan dasar pendidikan bagi anak, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pendidikan formal yang ada sekarang ini juga mempuyai peran yang tidak kalah pentinnya dengan keluarga. Karena dalam pendidikan formal juga dapat membentuk karakter seorang anak didiknya, hal ini diungkapkan salah satu tokoh pendidikan, bahwa pendidikan yang akan memunculkan karakter ada empat yaitu: Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan pada hierarki nilai. Sehingga nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan anak didik; Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang; Ketiga, otonomi, seseorang menghubungkankan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain; Keempat, keteguhan dan kesetiaan, Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan yang berkarakter akan memunculkan seorang anak didik yang mudah menentukan arah tujuan hidupnya. Dengan moral yang tertata akan dapat mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Terkait dengan hal itu bimbingan orang-orang terdekatnya sangat diperlukan dalam perkembangannya, sehingga kalau diterapkan keluarga sebagai dasar pendidikan anak yang akan membentuk kepribadian dan pendidikan diimbangi dengan pendidikan formal yang dapat membentuk karakter dalam bersikap tidak akan terjadi penyimpangan norma-norma ajaran agama. Juga pesan yang telah disampaikan oleh Nabi-nabi Allah Swt sebelumnya, agar manusia tetap beribadah kepada Allah akan tetap terjaga hingga akhir kehidupan. Sehingga kita akan siap dengan kehidupan yang kekal yaitu Akhirat. Semoga dengan tulisan ini masyarakat luas dapat mecermati realita kehidupan sekarang ini sehingga dapat menjaga diri sendiri dan keluarganya dari api neraka. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.
Penulis Mahasiswa Tafsir Hadist UIN SUKA Yogyakarta
MENEROPONG POLITIK UMMAT ISLAM
Oleh: Hendro Sucipto[1]

Satu-satu daun jatuh kebumi, Satu-satu tunas muda bersemi,
Waktu terus bergulir, Kita akan pergi dan akan ditinggal pergi,
Redalah tangis, Redalah tawa, Tunas-tunas muda bersemi (Iwan Fals)

Epistemologi Politik
Mencoba menengok ummat Islam pada dasarnya lebih banyak bergerak atas kesadaran, bukan hanya bergerak atas keuntungan-keuntungan material yang mereka miliki, seperti kepentingan politik, kepentingan kelas, dan kepentingan golongan. Keberadaan kepentingan itu hanya merupakan salah satu alat untuk mencapai kesadaran akan pentingnya kekuasaan[2].
Dalam sebuah hadist yang dituturkan oleh Umar Bin Khaththab, Rasulullah berkata:
“Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya, setiap orang mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Barang siapa berhijrah demi Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu dinilai sebagai demi Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya demi dunia yang meraka cari atau demi wanita yang akan dikawani maka hijrahnya dinilai sebagaimana yang menyebabkannya”.
Dalam pandangan Islam niat mempuyai peranan besar dalam setiap aktivitas, sehingga banyak prilaku muslim yang didasari dengan niat awal mereka sesuai dengan hadist yang dijelaskan diatas. Hal itulah yang menyebakan hidup sebagai riwayat dari munculnya kesadaran. Begitupula yang terjadi dalam prilaku politik umat islam berdasar akan kesadaran itu.
Berangkat dari permasalahan itu penulis akan mencoba untuk menengok epistemologi[3] politik umat islam. Epistemelogi Islam adalah epistemelogi relasional, hal ini diungkapkan oleh Fazlur Rahman yaitu menyebut epistemologi ini dengan cara berpikir integaralistik. Artinya semua kenyataan berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan. Epistemelogi ini dalam dasawarsa telah dipakai oleh beberapa tokoh Islam misalnya Hasan Hanafi, tokoh-tokoh NU keluar dengan Continuum, dan Amin Rais dengan Tauhid Sosialnya[4].
Epistemologi relasional ini telah menyelamatkan umat islam dari sekulerisasi subjektif dan objektif. Sekulerisasi subjektif terjadi bila adanya keterkaitan antara pengalaman keagamaan dan pengalaman aktivitas keseharian. Dari situ telah banyak cara yang dilakukan umat islam supaya sekulerisasi subjektif tidak terjadi, misalnya dengan menjadi donator pada kegiatan keagamaan tertentu, memelihara anak yatim dan sebagainya. Kemudian permasalahan sekulerisasi objektif bisa terjadi jika sudah ada pemisahan kenyataan agama dengan gejala lainnya. Contonya Indonesia dengan idilogi pancasila, menyatakan diri bukan Negara agama dan juga tidak menyatakan dengan Negara sekuler.

Prilaku Politik Ummat Islam: Membela Syari’at atau Mustadl’afin
Cerminan perpolitikan di Negeri ini selalu menampilkan perubahan yang terkadang bersifat romantis[5]. Hal ini merupakan akibat adanya hubungan konsep hubungan islam dengan Negara di dalam pemikiran agama yang beragam juga mengandung banyak perbedaan diantara banyak golongan berkepentingan. Identitas politik Islam jika kita tengok dari gerakannya dapat kita bedakan menjadi gerakan modernis dan tradisionalis, perbedaan itulah yang dapat mengakibatkan bedanya cara pandang terhadap praktek keberagaman islam[6].
Fenomena politik umat islam di atas dapat terus memberikan warna perkembangan politik nasional hingga masa-masa sesudah runtuhnya rezim orde baru. Pemahaman atas gejala dapat dilihat dari berbagai respon terhadap kebijakan politik di tingkat nasional, baik itu selama masa orde baru atau sebelum masa tersebut. Contoh kecil saat itu adalah tidak dilibatkannya teman-teman muslim dalam pemerintahan negeri ini, dengan hal itu digagaslah satu wadah yang bisa mengahantarkan kaum muslim dalam keterlibatan perpolitkkan Negara dengan memunculkan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Dengan adanya itu kepentingan umat islam sedikit demi sekit dapat terakomodasi[7].
Berbeda dengan sekarang, dengan bergulirnya masa orde baru dan digantikan dengan masa reformasi[8] segala kepentingan sudah dapat diterpenuhi. Bila kita melihat pada kepemimpinan orde baru lebih bersifat legal-rasional, untuk membedakan diri dengan kepemimpinan orde lama yang berkembang menjadi karismatis. Dengan cara pejabat-pejabat dari teknokrat menduduki jabatan penting, dengan demikian mereka menduduki posisi sekelompok penasehat. Kalau kita melihat pada awalnya kepemimpinan dimasa reformasi yang diharapkan adalah lebih bersifat pada pembelaan akan kepentingan masyarakat atau dapat disebut dapat mengakomodasi kaum tertindas (mustadl’afin). Akan tetapi tindak prilaku politik umat islam cenderung berbeda dengan arahan awal tujuan reformasi.
Menurut hemat penulis dengan adanya banyak partai politik yang berbasis islam, malah semakin membuat bingung masyarakat muslim. Karena pada dasarnya yang digembor-gemborkan semua partai islam adalah mencoba untuk melaksanakan syariat. Syariat adalah pengakuan bahwa Al-qur’an dan As-sunah sebagai sumber. Syariat itu adalah akibat akan adanya kesaksian bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya”. Tetapi kalau kita lihat dari segi praktisnya orang sekuler dan orang Islam tidak semua mengakuai bahwa Al-qur’an dan As-sunah dapat dipakai sebagai pegangan pada zaman modern ini.
Kemudian satu hal yang ditawarkan penulis saat ini adalah pertanyaan Kritis terhadap partai Islam. Benarkah mereka mencoba menerapkan syariat untuk kepentingan kaum tertindas (mustadl’afin) atau hanya untuk menghatarkan kepentingan golongan dengan mengatasnamakan Islam sebagai sumber pijakan pemerintahan (memakai nama Syari’at Islam). Harapannya tulisan ini dapat mengahantarkan pembaca dalam pembacaan realitas perpolitikan umat Islam di negeri ini. Terima kasih

Selamat berjuan kawan-kawan aktivis Muda Muslim Indonesia[9]
Billahi fi sabilil haq, fastabiq al-khairat
Hayya 'alal falah!!!



[1] Sekretaris Eksekutif Center of Religion and Political Studies (CRPS) DI Yogyakarta, sekarang tinggal di Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta.
[2] Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Mizan. Bandung. 1997. hal 1
[3] Epistemologi dari bahasa Yunani episteme berarti pengetahuan. Atau teori pengatahuan adalah ilmu yang menanyakan bagaimana orang mengetahui dan memahami kenyataan, supaya orang dapat bertindak bijaksana. Apa sumber-sumber pengatahuan, bagaimana sumber itu dipergunakan dan dengan apa pengetahuan manusia tentang kenyataan itu diukur.
[4] Kuntowijoyo. Identitas….. hal 4
[5] Abdul Munir Mulkan. Teologi Kiri; Landasan Membela Kaum Mustadl’afin. Kreasi Wacana. Yogyakarta. 2002.
[6] Dengan berbagai macam golongan dalam islam, hal itu juga dapat memebedakan cara pandang mereka dalam menyikapi permasalah keagamaan. Terlebih lagi dalam tindak perpolitikan di negeri ini yang membawa dari segala kepentingan.
[7] ICMI digagas oleh beberapa kaum intelektual Muslim Indonesia
[8] Tahun 1998 hal ini digagas oleh Pro. Dr. Amin Rais, MA yang diperkuat oleh Masiswa Indonesia, dengan diturunkannya presiden Soeharto, sampai sekarang sudah berjalan 10 tahun.
[9] Buat temen-teman Park Institute yang mencoba menggagas Forum Intelektual Muslim semoga dapat menjalankan aktivitas kritisnya. Kawan-kawan hidup itu adalah memilih bukan menunggu.