Selasa, 25 Maret 2008

MENEROPONG POLITIK UMMAT ISLAM
Oleh: Hendro Sucipto[1]

Satu-satu daun jatuh kebumi, Satu-satu tunas muda bersemi,
Waktu terus bergulir, Kita akan pergi dan akan ditinggal pergi,
Redalah tangis, Redalah tawa, Tunas-tunas muda bersemi (Iwan Fals)

Epistemologi Politik
Mencoba menengok ummat Islam pada dasarnya lebih banyak bergerak atas kesadaran, bukan hanya bergerak atas keuntungan-keuntungan material yang mereka miliki, seperti kepentingan politik, kepentingan kelas, dan kepentingan golongan. Keberadaan kepentingan itu hanya merupakan salah satu alat untuk mencapai kesadaran akan pentingnya kekuasaan[2].
Dalam sebuah hadist yang dituturkan oleh Umar Bin Khaththab, Rasulullah berkata:
“Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya, setiap orang mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Barang siapa berhijrah demi Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu dinilai sebagai demi Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya demi dunia yang meraka cari atau demi wanita yang akan dikawani maka hijrahnya dinilai sebagaimana yang menyebabkannya”.
Dalam pandangan Islam niat mempuyai peranan besar dalam setiap aktivitas, sehingga banyak prilaku muslim yang didasari dengan niat awal mereka sesuai dengan hadist yang dijelaskan diatas. Hal itulah yang menyebakan hidup sebagai riwayat dari munculnya kesadaran. Begitupula yang terjadi dalam prilaku politik umat islam berdasar akan kesadaran itu.
Berangkat dari permasalahan itu penulis akan mencoba untuk menengok epistemologi[3] politik umat islam. Epistemelogi Islam adalah epistemelogi relasional, hal ini diungkapkan oleh Fazlur Rahman yaitu menyebut epistemologi ini dengan cara berpikir integaralistik. Artinya semua kenyataan berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan. Epistemelogi ini dalam dasawarsa telah dipakai oleh beberapa tokoh Islam misalnya Hasan Hanafi, tokoh-tokoh NU keluar dengan Continuum, dan Amin Rais dengan Tauhid Sosialnya[4].
Epistemologi relasional ini telah menyelamatkan umat islam dari sekulerisasi subjektif dan objektif. Sekulerisasi subjektif terjadi bila adanya keterkaitan antara pengalaman keagamaan dan pengalaman aktivitas keseharian. Dari situ telah banyak cara yang dilakukan umat islam supaya sekulerisasi subjektif tidak terjadi, misalnya dengan menjadi donator pada kegiatan keagamaan tertentu, memelihara anak yatim dan sebagainya. Kemudian permasalahan sekulerisasi objektif bisa terjadi jika sudah ada pemisahan kenyataan agama dengan gejala lainnya. Contonya Indonesia dengan idilogi pancasila, menyatakan diri bukan Negara agama dan juga tidak menyatakan dengan Negara sekuler.

Prilaku Politik Ummat Islam: Membela Syari’at atau Mustadl’afin
Cerminan perpolitikan di Negeri ini selalu menampilkan perubahan yang terkadang bersifat romantis[5]. Hal ini merupakan akibat adanya hubungan konsep hubungan islam dengan Negara di dalam pemikiran agama yang beragam juga mengandung banyak perbedaan diantara banyak golongan berkepentingan. Identitas politik Islam jika kita tengok dari gerakannya dapat kita bedakan menjadi gerakan modernis dan tradisionalis, perbedaan itulah yang dapat mengakibatkan bedanya cara pandang terhadap praktek keberagaman islam[6].
Fenomena politik umat islam di atas dapat terus memberikan warna perkembangan politik nasional hingga masa-masa sesudah runtuhnya rezim orde baru. Pemahaman atas gejala dapat dilihat dari berbagai respon terhadap kebijakan politik di tingkat nasional, baik itu selama masa orde baru atau sebelum masa tersebut. Contoh kecil saat itu adalah tidak dilibatkannya teman-teman muslim dalam pemerintahan negeri ini, dengan hal itu digagaslah satu wadah yang bisa mengahantarkan kaum muslim dalam keterlibatan perpolitkkan Negara dengan memunculkan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Dengan adanya itu kepentingan umat islam sedikit demi sekit dapat terakomodasi[7].
Berbeda dengan sekarang, dengan bergulirnya masa orde baru dan digantikan dengan masa reformasi[8] segala kepentingan sudah dapat diterpenuhi. Bila kita melihat pada kepemimpinan orde baru lebih bersifat legal-rasional, untuk membedakan diri dengan kepemimpinan orde lama yang berkembang menjadi karismatis. Dengan cara pejabat-pejabat dari teknokrat menduduki jabatan penting, dengan demikian mereka menduduki posisi sekelompok penasehat. Kalau kita melihat pada awalnya kepemimpinan dimasa reformasi yang diharapkan adalah lebih bersifat pada pembelaan akan kepentingan masyarakat atau dapat disebut dapat mengakomodasi kaum tertindas (mustadl’afin). Akan tetapi tindak prilaku politik umat islam cenderung berbeda dengan arahan awal tujuan reformasi.
Menurut hemat penulis dengan adanya banyak partai politik yang berbasis islam, malah semakin membuat bingung masyarakat muslim. Karena pada dasarnya yang digembor-gemborkan semua partai islam adalah mencoba untuk melaksanakan syariat. Syariat adalah pengakuan bahwa Al-qur’an dan As-sunah sebagai sumber. Syariat itu adalah akibat akan adanya kesaksian bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya”. Tetapi kalau kita lihat dari segi praktisnya orang sekuler dan orang Islam tidak semua mengakuai bahwa Al-qur’an dan As-sunah dapat dipakai sebagai pegangan pada zaman modern ini.
Kemudian satu hal yang ditawarkan penulis saat ini adalah pertanyaan Kritis terhadap partai Islam. Benarkah mereka mencoba menerapkan syariat untuk kepentingan kaum tertindas (mustadl’afin) atau hanya untuk menghatarkan kepentingan golongan dengan mengatasnamakan Islam sebagai sumber pijakan pemerintahan (memakai nama Syari’at Islam). Harapannya tulisan ini dapat mengahantarkan pembaca dalam pembacaan realitas perpolitikan umat Islam di negeri ini. Terima kasih

Selamat berjuan kawan-kawan aktivis Muda Muslim Indonesia[9]
Billahi fi sabilil haq, fastabiq al-khairat
Hayya 'alal falah!!!



[1] Sekretaris Eksekutif Center of Religion and Political Studies (CRPS) DI Yogyakarta, sekarang tinggal di Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta.
[2] Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Mizan. Bandung. 1997. hal 1
[3] Epistemologi dari bahasa Yunani episteme berarti pengetahuan. Atau teori pengatahuan adalah ilmu yang menanyakan bagaimana orang mengetahui dan memahami kenyataan, supaya orang dapat bertindak bijaksana. Apa sumber-sumber pengatahuan, bagaimana sumber itu dipergunakan dan dengan apa pengetahuan manusia tentang kenyataan itu diukur.
[4] Kuntowijoyo. Identitas….. hal 4
[5] Abdul Munir Mulkan. Teologi Kiri; Landasan Membela Kaum Mustadl’afin. Kreasi Wacana. Yogyakarta. 2002.
[6] Dengan berbagai macam golongan dalam islam, hal itu juga dapat memebedakan cara pandang mereka dalam menyikapi permasalah keagamaan. Terlebih lagi dalam tindak perpolitikan di negeri ini yang membawa dari segala kepentingan.
[7] ICMI digagas oleh beberapa kaum intelektual Muslim Indonesia
[8] Tahun 1998 hal ini digagas oleh Pro. Dr. Amin Rais, MA yang diperkuat oleh Masiswa Indonesia, dengan diturunkannya presiden Soeharto, sampai sekarang sudah berjalan 10 tahun.
[9] Buat temen-teman Park Institute yang mencoba menggagas Forum Intelektual Muslim semoga dapat menjalankan aktivitas kritisnya. Kawan-kawan hidup itu adalah memilih bukan menunggu.

Tidak ada komentar: