Senin, 19 Oktober 2009

REVITALISASI NILAI ISLAM SEBAGAI BASIS MORAL


Oleh: Tsania Husna Dzakiyyah*)

KHA Dahlan mendirikan Muhammadiyah diawali kepemimpinan sosok santri dan kiai. Lambat laun hingga kini menuju se-abad Muhammadiyah, kaum akademisi dan intelektualis mendominasi kepemimpinan Muhammadiyah. Sebut saja Prof. Dr. Amien Rais, M.A. seorang dosen yang menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2000-2005, Dr. H. Khoiruddin Bashori sebagai ketua Majlis Pengembangan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) PP Muhammadiyah di periode yang sama, yang “menguasai” kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hingga ke rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. H.M.Amin Abdullah.
Transisi jenis kepemimpinan ini bukan merupakan kesalahan, tetapi justru merupakan sistem adaptasi Muhammadiyah terhadap perubahan. Di zaman sekarang ini, siapa yang tidak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), ia akan tertinggal oleh zaman. Dan orang-orang seperti itu tidak akan dapat survive menghadapi realita yang semakin kompleks.
Paradigma bahwa pendidikan adalah modal meniti kehidupan, agaknya sangat perlu disetujui. Karena bagaimanapun juga alam ini berkembang menurut kodratnya. Manusia akan semakin bertambah jumlahnya. Kebutuhan manusia juga akan semakin beragam. Sumber daya alam yang tersedia di bumi semakin menipis. Oleh karena itu peranan Iptek sangat kita butuhkan untuk menggali potensi-potensi SDA yang ada.
Walaupun patut kita banggakan adanya akademisi dan intelektual yang menduduki kursi-kursi kepemimpinan Muhammadiyah baik di tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang, hingga ke ranting, ada baiknya kita menilik kepada sisi pengamalan agama kita. Jika kita mencoba flashback pada sejarah, yang mana kehidupan Muhammadiyah adalah sistem kehidupan santri yang notabene tinggal di lingkungan pesantren, maka kita tidak lepas dari pandangan bahwa orang-orang Muhammadiyah dahulu adalah orang-orang yang sangat mengedepankan agama Islam sebagai landasan berperikehidupan sehari-hari. Terlebih sebagai founding father of Muhammadiyah, KHA Dahlan sangat berhati-hati terhadap lisan dan perbuatannya. Ia sadar akan kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi agar beruswah hasanah. Kehidupan sehari-harinya selalu dihiasi dengan pengejawantahan syariat Islam dan akhlaqul karimah.
Islam sangat wajib kita ikuti dan kita jadikan pedoman hidup. Karena sungguh sangat jelas tertulis dalam Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 19: “Sesunguhnya agama (yang diridloi) di sisi Allah SWT adalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada merka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah SWT maka sesungguhnya Allah SWT sangat cepat hisabnya”.
Kita memang tidak dapat menguikur tingkat keislaman seseorang. Namun, akan terlihat melalui akhlaq atau perilakunya. Orang yang selalu menjaga syariat Islam, mengerjakan, dan menjauhi larangannya, secara otomatis mempunyai akhlaq yang mulia. Ia mempunyai self control terhadap apa yang dilakukannya.
Rasulullah SAW sangat mengutamakan akhlaq. Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT ke bumi ini untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Rasulullah SAW sebagai seorang reformer tidak pernah takut untuk mendakwahkan akhlaqul karimah. Padahal pada masa Nabi SAW, penduduk di lingkungannya adalah penduduk yang belum memeluk Islam. Hanya sedikit yang telah berikrar Syahadat. Berbeda dengan kini, telah berjuta-juta manusia di bumi beragama Islam.
Dahulu ketika kabilah-kabilah di Makkah terlibat konflik akibat perebutan gelar kehormatan untuk mengangkat hajar aswad ke tempat semula di Ka’bah, Rasulullah SAW datang sebagai seorang yang dipercaya –karena kejujuran dan kemuliaan akhlaq Rasulullah dijuluki Al-Amin- untuk meletakkan hajar aswad ke tempat semula. Dengan penuh kebijaksanaan dan kewibawaannya, ia memberi keadilan kepada semua kabilah di Makkah untuk mendapat kehormatan mengangkat hajar aswad. Caranya yaitu dengan meletakkan batu itu di atas kain, dan masing-masing kabilah memegang ujung-ujung kain, lalu diangkat bersama-sama untuk diletakkan di salah satu pojok Ka’bah. Sedangkan Muhammad SAW sendiri yang kemudian meletakkannya kembali ke pojok Ka’bah itu. Dengan keputusannya itu, maka semakin cerahlah cahaya muka Muhammad SAW di tengah-tengah kaumnya. Dan semakin banyak orang-orang yang kemudian beriman kepada Allah SWT.
Contoh di atas membuktikan bahwa tiada dapat dipungkiri, akhlaq merupakan kunci utama penilaian seseorang kepada orang lain. Kita sebagai umat muslim, khalifah di muka bumi, pejuang persyarikatan Muhammadiyah, tidak pantas apabila akhlaq mazmumah mengotori akhlaq kita, yang juga akan mengotori Islam. Dan alangkah mulianya apabila kita selalu mempunyai akhlaq yang mahmudah. Karena kita semua adalah pemimpin, uswah hasanah, yang akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana jargon salah satu organisasi otonom Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) “Anggun dalam Moral Unggul dalam Intelektual” bukan saja sebagai penghias dinding, tetapi benar-benar motivator untuk merealisasikannya dan mengaplikasikannya di kehidupan bermasyarakat.
Wallahu a’lam



*) Penulis adalah alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Komisariat Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta