Senin, 19 Januari 2009

“………………………”1

“………………………”1

Oleh: Adi Park


Menurut etimologi, kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab “akhlaq”, bentuk jamak dari mufrad khuluq, yang berarti “budi pekerti”. Sinonimnya adalah etika, moral. Etika berasal dari bahasa latin, “etos” yang berarti kebiasaan. Seangkan moral berasal dari “mores”, yang berarti kebiasaannya.2


Menurut ajaran Islam, sumber akhlak adalah Alquran dan sunnah, titik. Bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral. Dan bukan pula karena baik atau buruk dengan endirinya sebagaimana menurut mu’tazilah. Namun, apakah Islam menafikan peran hati? Hati nurani atau fitrah, dalam bahasa Alquran memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk, karena manusia diciptakan oleh Allah swt memiliki fitrah bertauhid, mengakui ke-Esaan-Nya (QS. Ar-Rum: 30) yang berimplikasi pada pencarian ajaran Tuhan dan merindukan kebenaran. Penting untuk diketahui bahwa fitrah adalah potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Sehingga, fitrah ini bisa tidak bisa berfungsi dengan baik ketika terpengaruh oleh factor luar, pendidikan dan lingkungan misalnya.3


Ruang lingkup akhlak sangat luas, secara vertical maupun horizontal. Dari situlah maka pembahasan akhlak dapat dibagi beberapa hal. Pertama, akhlak terhadap Allah swt. Kedua, akhlak kepada Rasulullah saw. Ketiga, akhlak kepada pribadi. Keempat, akhlak dalam keluarga. Kelima, akahlak bermasyarakat. Dan terakhir, akhlak bernegara.


Pembahasan akhlak, baik pengertian dan sumbernya, seperti tersebut di atas menjadikan kita berhenti berfikir. Alsannya, apalagi yang mau ditanyakan? Karena, selain Alquran dan Sunnah bukanlah sumber kebenaran mutlak (menurut pandangan Islam) dan kita dituntut secara “paksa” untuk mempercayainya. Maka tidak heran dengan pendidikan tersebut, banyak orang beragama yang perilakunya agama, namun otaknya “tidak” beragama. Sehingga yang ada keberagamanan untuk pribadi, bukan untuk orang lain.


Perilaku agama dan otak tidak agama maksudnya adalah menerima ajaran yang secara utuh dan tidk dikritisi. Keutuhan menerima ajaran agama memang benar, namun ketika yang diterima dan diamalkan itu adalah fikiran agama, maka hal itu kurang tepat. Seperti kita tahu pemikiran orang lain bias dipengaruhi oleh ideology, lingkungan hidup or keberadaannya, konteksnya.


Kiranya cukup seperti ini untuk mengawali program “KECERDASAN BERAGAMA”. Jika ada pertanya, bantahan karena ketidakjelasan apa hendak penulis sampaikan, maka itu adalah tugas kita.


Terakhir, penulis ingin bagi kata-kata ke temen-temen4, seperti ini: don’t afraid to make mistake5, ini dapat dijadikan motivasi, karena lebih baik tahu salah, daripada tidak. Semoga Tuhan memberi petunjuk kepada kita semua, Amin.


Pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain mu-tasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melaikan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “kami beriman kepada ayat-ayat uang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal (Ali Imran: 7)


Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (Ar-Raad: 19)



1 Disampaikan pada Diskusi Rutin Rabu, 9 Januari 2008, di UPT Perpus UIN Suka.

2 Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islam: Akhlak Mulia, cet.ke-2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), hlm.26.

3 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, cet.ke-4 (Yogyakarta: LPPI, 2004), hlm.4.

4 Temen-temen Park, yang tetep setia untuk berjihad memerangi kobodohan.

5 Makasih buanget.

Wanita Menurut Aristoteles dan Plato

Wanita Menurut Aristoteles dan Plato

Oleh: Tsania HD


Dalam falsafah Jawa wanita berarti “wani ditata”, yang artinya berani ditata / diatur. Mengapa demikian?


Filosof mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada hingga sekarang ini merupakan sub keilmuan dari ilmu Filsafat. Boleh dikatakan bahwa Filsafat adalah bapak segala ilmu. Maka, merunut kepada sejarah munculnya ilmu-ilmu, tulisan ini membahas pemikiran Aristoteles dan Plato sebagai tokoh filsafaf Yunani kuno, yaitu abad ke-4 SM (428-322 SM).


“Wanita adalah laki-laki yang belum lengkap”, ungkap Aristoteles, begitu ditulis Jostein Gaarder dalam bukunya Dunia Sophie. Wanita dalam hal reproduksi hanya bersifat reseptif dan pasif. Wanita hanya ladang, sedangkan laki-laki adalah benihnya. Jadi, sifat anak dituruni oleh ayahnya, bukan kedua orang tuanya. Dari awal munculnya ilmu, telah ada tokoh besar filsafat yang menyudutkan posisi wanita. Dari penjelasan sejarah ini, apa yang dapat kita simpulan?


Sama pendapat dengan Ilmu Biologi bahwa jenis kelamin anak ditentukan oleh sperma laki-laki, karena laki-laki memiliki pembawa sifat (kromosom) yang berbeda jenis yang dapat menentukan jenis kelamin janin. Diperkuat dengan ayat Al-Qur’an “…kemudian dari setetes mani…”(al-Hajj :5), Allah menciptakan manusia dari setetas mani, sedangkan mani adalah spermatozoid laki-laki.


Sedikit berbeda dengan Plato, ia menyatakan bahwa wanita sama dengan laki-laki dapat memimpin sebuah Negara / konstitusi. “Wanita dapat sama efektifnya dengan laki-laki dalam memimpin Negara karena mereka berdua sama menggunakan akal.”Asal, wanita dibebaskan dari kewajiban membesarkan anak dan mengurusi rumah tangga. Konsep Negara ideal menurut Plato, para pemimpin dan ksatria tidak boleh menjalani kehidupan rumah tangga. Karena pendidikan anak adalah sangat berharga, maka harus diserahkan kepengurusannya dari keluarga kepada Negara. Jika demikian, sama artinya Plato tidak mempercayai wanita dalam perpolitikan.


Kedua pendapat filosof besar mengenai wanita itu, menyudutkan perempuan yang secara fitrah (baca : takdir dari Allah SWT) dapat hamil dan melahirkan, yang disusul dengan mendidik anak. Maka, jika Plato mengatakan bahwa Negara secara institusi tidak akan efektif dipimpin oleh wanita yang hamil dan mendidik anak, penulis berbeda pendapat. Hamil dan mendidik anak merupakan tugas yang berat, sama seperti membawa Negara. Karena generasi muda adalah generasi di masa yang akan datang. Keberhasilan kepemimpinan Negara di masa mendatang akan terwujud jika anak dididik dengan baik oleh ibu bapaknya.


Kebudayaan Jawa dimana wanita adalah jenis kelamin yang diatur oleh jenis kelamin lainnya yaitu laki-laki, adalah imbas dari penganut Aristotelian. Mengapa sampai sekarang justru pendapat-pendapat yang menyudutkan wanita yang justru berkembang, dengan alasan fisik / reproduksi? Apakah memang benar faktanya, ataukah konstruk sejarah dan perkembangannya yang kebanyakan dicetuskan oleh jenis kelamin laki-laki? Apakah laki-laki memang memiliki kodrat untuk selalu mengatur wanita, dan menjajahnya?


Penulis belum menemukan teori yang membela kaum wanita (dalam hal tetap menjalani kodratnya dan aktif di dunia public-politik-negara). Ayat-ayat Al-Qur’an pun membatasi wanita hanya bekerja di ranah rumah tangga saja, karena itulah tugasnya. Ada pembagian tugas antara laki-laki dan wanita. Namun apabila peran public dipertukarkan, itu takkan menjadi masalah sepanjang kedua belah pihak suami istri dapat menyepakati.


Maka, tidak selayaknya konstruk budaya “laki-laki berperan di public dan wanita di domestic” disosialisasikan. Supaya tidak terjadi konflik rumah tangga. Dan tidak pula mufasir menafsirkan ayat dengan bias gender.



MANUSIA DAN AGAMA

MANUSIA DAN AGAMA

Mukhlisin


  1. Pengetahuan Awal

Agama adalah sesuatu yang dekat dengan kita sebagai manusia. Manusia pada hakekatnya membutuhkan manusia. Hal ini terlihat dari fenomena dari makin semaraknya kegiatan-kegiatan agama seperti pengajian di perkotaan-perkotaan, meningkatnya orang shalat berjamaah di masjid. Kondisi bertolak belakang para ahli barat yang mengatakan bahwa agama pada akhirnya nanti seiring dengan kemajuan zaman akan ditinggalkan. Perubahan zaman yang dimaksud di sini adalah modernisasi yang dapay kita lihat sekarang ini. Mengapa orang berduyun-duyun menuju kepada agama, ini dikarenakan modernisasi yang menjanjikan memberi kebahagiaan dan kesejahteraan kepada umat manusia tidak terpenuhi. Sisi lain dari kemajuan peradaban yang dicapai zaman modern sebagaimana yang terlihat saat ini, ialah modernisasi telah membawa manusia kepada kesengsaraan, penderitaan kering spiritual akibat meninggalkan agama.

Dalam kehidupan agama akan menunjukkan wajah yang beragam. Kadang agama menunjukkan pada radikalisme atau kekerasan. Aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh sebagian umat Islam-tidak bermaksud menganggap Islam adalah teroris, adalah contoh. Agama yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk berbuat baik terhadap sesame manusia, ternyata dalam sisi lain menunjukkan tidak demikian. Seperti misalnya menjadi spirit bagi pemeluknya untuk membantu kepada orang lain yang kesusahan atau kesulitan, memberi ketentraman, bagi manusia dan sebagainya.


  1. Mengapa Manusia Beragama?

Manusia pada hakekatnya membutuhkan agama. Keberadaan menusia yang tidak mampu menghadapi gejala-gejala alam seperti banjir, petir yang berkilat-kilat, suara guntur yang besar menyambar-nyambar, gelombang besar di lautan dan berbagai macam gejala-gejala alam lainnya, membuat manusia meyakini adanya kekuatan Maha Besar. Mulailah manusia menyembah kepada benda-benda alam yang memiliki kekuatan seperti matahari, bulan, api, dan seterusnya untuk menjalin hubungan dengan zat yang dipercaya mnemiliki kekuatan maha dasyat itu.

Dalam proses perjalanannya turun agama wahyu atau agama samawi yang diturunkan oleh Tuhan kepada para utusannya untuk disampaikan kepada umatnya masing-masing. Di antaranya ada Nabi Musa as dengan risalahnya agama Yahudi, Nabi Isa as dengan agama Nasraninya, dan Nabi Muhammad saw dengan risalah Islamnya.

Dalam pandangan Islam manusia beragama fitrah. Sebab Allah telah memberikan potensi kepada manusia untuk mengenal diri-Nya. Allah berfirman dalam Surat Ar-Rum ayat 30 yang artinya:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuai”



  1. Pengertian Agama

Memahami agama dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama dengan melalui pengkajian secara etimologi, kedua mengkaji agama secara terminologi. Pengkajian agama secara etimologi adalah pengkajian agama yang dilakukan dengan cara menyajikan dan menelaah batasan-batasan (definisi, formulasi ilmuiah/agama) yang dibangun/diciptakan oleh para ahli dan ilmu pengetahuan. (K. Suradji, Agama-Agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya (Bandung :Aksara, 1993, hlm. 26).

Orang barat menyebut agama dengan perkataan religie, religion atau religious. Kemudian Bangsa Arab dan bangsa-bangsa selain Arab namun memakai bahasa Arab menyebut dengan perkataan ilmiah dan madzab. (Ibid)

Perkaan agama berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam Kitab Upadec tentang ”Ajaran-ajaran Agama Hindu” disebutkan bahwa perkataan agama berasal dari bahasa Sansekerta, yang tersusun dari kata ”a” yang berarti ”tidak” dan ”gam” yang berarti ”pergi”. Dari penjelasan ini dapat ditarik pengertian agama yang berarti ”tidak pergi, tetap di tempat, abadi, diwariskan dari generasi ke generasi.

Selain itu, ada pula yang mengartikan agama dengan arti tidak kacau. Caranya sama seperti di atas dengan diuraikan agama kata demi kata, yaitu ”a” berarti ”tidak” dan ”gama” berarti ”kacau” (Ibid). Maksudnya agama akan memberi ketidakkacauan bagi pemeluknya yang berpegang teguh pada ajaran-ajarannya.

Namun perlu diperhatikan di sini, pengertian agama dengan melalui penguraian kata demi kata sebagimana tersebut di atas, oleh sebagian ahli dianggap tidak bisa dianggap tidak bisa diterima keilmiahannya. Adalah Prof. Sulaiman, Guru Besar UII, pihak yang berada pada posisi ini. Beliau mengatakan bahwa pemberian arti pada perkataan agama dengan menguraikan kata agama dari kata ”a” yang diartikan ”tidak” dan ”gama” yang diartikan ”kacau” adalah analisis ilmiah yang tidak bisa dibenarkan (Ibid., hlm.26).

Perkataan agama dalam penyebutannya dicapkan dengan lafal yang bervariasi. Ada yang menyebutkan dengan religie atau religious. Yang mengungkapkan agama dengan sebutan-sebutan itu adalah masyarakat barat. Di sampimng itu ada pula yang menyebut dengan ad-dien, sebutan agama bagi masyarakat Arab dan bukan bangsa Arab namun berbahasa Arab.

Elanjutnya agama juga sering disebut dengan lafal igama dan ugamaa. Sebagian dari masyarakat Indonesia menyebut agama dengan lafal demikian. Istilah igama dan ugama penyebarnya adalah pemeluk agama Hindu dan Budha sejak Kerajaan Kahuripan di bawah pimpinan Raja Erlangga yang kemudian dikembangkan sampai seluruh poenjuru nusantara. Tak hanya nusantara (Indonesia), oleh pemeluk agama Hindu dan Budha disebarkan hingga sampai ke Semenanjung Malaka pada zaman Kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Maha Patih Hayam Wuruk (Ibid., hlm.27).

Sebagaimana telah disinggung di atas, orang Barat tidak menyebut dengan kata gama, namun religion, religie atau religious. Kata ini berasal dari bahasa Latin, yang tersusun dari dua buah perkataan, yaitu ”re” yang berarti kembali, dan ”ligere” yang berarti ”terkait, terikat” Maksud dari arti ”kembal;i” yang merupakan arti dari kata ”re” dan ”terikat, terkait” arti dari kata ”ligere” di atas adalah bahwa jiwa yang diciptakan Tuhan terkait dan terikat dengan-Nya dan pasti akan kembali pada-Nya. Pengertian terlihat pada De Groot.

J.H. Vander Hoop mengartikan terikat dan terkait tersebut di atas sebagai hukum. Maksudnya bahwa manusia tidak bebas menuruti kehendak atau kemauan sendiri, sebaliknya manusia harus menurut pada ketentuan-ketentuan Tuhan. Inilah terikat dan terkait dimaksud.

Orang Islam yang berbangsa Arab maupun bukan Arab namun kesehariaannya memakai bahasa Arab menyebut agama dengan kata ad-dien. Kata ini memiliki arti yang sangat banyak. Antara lain: pahala, ketentuan, kekuasaan, peraturan, dan perhitungan. Al-Fainis-Zabat dalam kamusnya yang berjudul ”al-Muhieth” mengartikannya dengan kekuasaan, kemenangan, kerendahkan, kemuliaan, perjalanan, peribadatan dan paksaan.

Setelah penulis menguraikan arti agama secara etimologi, akan penulis uraikan pula arti agama dari beberapa ahli. Namun demikian perlu diketahui, bahwa mendefinisikan agama adalah pekerjaan yang sangat sulit. Llletak kesulitannya ialah defini yang diberikan tidak mampu menccakup semua gama-agama yang ada. Mukti Ali, Mantan Menteri Agama Indonesia, menulis, agama adalah percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada kepercayaan utusan-Nya untuk kebahagiaan umat manusia di dunia maupun di akhirat. Jelas sekali pengertian yang dikatakan oleh Mukti Ali tidak mencakup pada agama-agama yang meyakini adanya banyak Tuhan. Bila kita memakai pengertian agama yang dikemukakan oleh Mukti Ali secara konsisten, hindu tidak dapt dimasukkan sebagai agama, karena meyakini banyak Tuhan (Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan, 2000, hlm.,...)

  1. Macam-Macam Agama

Keberadaan agama yang beraneka macam jenis dan jumlahnya dapat bagi menjadi dua menurut asal kedatangannya. Yaitu pertama, agama samawi. Kedua, agama Thabi’iy (Agus Salim, Perbandingan Agama, Bandung :Diponegoro, 1996, hlm.13).

Maksud dari agama samawi adalah agama yang turun dari Tuhan melalui wahyu yang diberikan kepada hamba pilihannya (rasul) untuk disiarkan kepada umatnya. Kemudian yang dimaksud dengan agama Thabi’iy, agama bumi (ardl) adalah agama yang lahir dari pemikiran manusia dan bukan berasal dari wahyu. Agama Thabi’iy dinamakan juga agama alam, karena agama ini mengajarkan pujian-pujian terhadap benda (thabiat), seperti memuja kepada berhala-berhala.

Yang termasuk dalam kategori agama samawi yang sampai sekarang masih keberadaannya ialah agama Islam, Nasrani, Yahudi. Selain dari ketiga agama ini merupakan agama Thabi’iy (bumi). Wallahua’lam.

Pendidikan Keluarga

Pendidikan Keluarga

Desi Ikasari


“Keluarga cerdas menghasilkan generasi cerdas, sekolah cerdas menghasilkan pendidikan cerdas, pendidikan cerdas menghasilkan masyarakat cerdas, dan akhirnya masyarakat cerdas menghasilkan pemerintah cerdas”


Siapapun, manusia di bumi ini membutuhkan pendidikan. Dengan pendidikan maka manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya. Inilah kemudian pendidikan kemudian kita sebut sebagai upaya memanusiakan manusia. Tidak mungkin anak manusia dibiarkan hidup dengan hanya potensi bawaan tanpa ada suatu intervensi apapun dari orang dewasa.

Pendidikan??

  • Kata pendidikan menurut etimologi berasal dari kata dasar didik. Apabila diberi awalan me, menjadi mendidik maka akan membentuk kata kerja yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran). Sedangkan bila berbentuk kata benda akan menjadi pendidikan yang memiliki proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.

  • Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengambangkan potensi dirnya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilann yang diperlukan dirinya dan masyarakat. pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pretimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.

  • Menurut Prof. Mastuhu, pendidikan adalah: mengembangkan potensi daya manusia menuju kedewasaan sehingga mampu hidup mandiri dan mampu pula mengembangkan tata kehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan tantangan atau kebutuhan zamannya.1

Keluarga??

  • Kata keluarga dapat diambil kefahaman sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatu ikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjaga keharmonisan hubungan satu dengan yang lain atau hubungan silaturrahim.

  • Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang di dalamnya terjadi suatu interaksi yang akan membawa pada perubahan-perubahan tertentu sesuai dengan nilai-nilai budaya yang melingkupinya, dalam interaksi tersebut terdapat orang dewasa (orang tua) dan orang yang sedang berproses ke arah kedewasaan. Dalam interaksi tersebut terdapat fihak yang dominan dan cenderung mendominasi dalam membentuk interaksi serta substansi interaksi, seperti nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dimiliki dan menjadi sikap fihak yang belum dewasa, yaitu anak-anak dalam keluarga tersebut.

  • Sementara satu keluarga dalam bahasa Arab adalah al-Usrah yang berasal dari kata al-asru yang secara etimologis mempunyai arti ikatan.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan keluarga adalah proses transformasi perilaku dan sikap, dalam rangka mengembangkan potensi manusia, di dalam kelomp[ok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat yang dilandasi atas suatu ikatan. Keluarga merupakan pusat pendidikan yang paling berpengaruh, karena keluargalah temp[at pertama bagi manusia mendapatkan pendidikan. Namun dalam kenyataan yang ada, yang terjadi bukan proses transformasi tetapi lebih pada upaya pengelolaanterhadap anak. Masyarakat kita adalah mayarakat yang tidak memiliki ruang untuk kebebasan, hanya sedikit keluarga yang memberikan kebebasan bagi generasi muda untuk menentukan pilihan.

Analogi yang paling buruk tentang pengasuhan anak adalah yang menibaratkan anak seperti gumpalan tanah liat dan orang tua adalah pematungnya. Hal ini menggambarkan bahwa anak berada dalam pihak yang pasif dan tak berdaya sama sekali. Anak diposisikan tidak memberikan kontribusi dalam proses tumbuh kembangnya. Hal ini pada akhirnya gagal dan sangat merugikan perkembangan anak itu sendiri.

Analogi yang lebih baik adalah analogi bibit tanaman. Pohon kecil yang ditanam di taman semuanya mirip. Tetapi ternyata mereka semua berbeda. Ada pohon pinus, pohon apel dan pohon mangga. Kita tidak membentuk mereka melainkan merawatnya sesuai dengan karakteristik yang telah ada.

Kita perlu mencari tahu pohon jenis apa. Setelah itu mempelajari apa yang mereka perlkukan dan menyediakan apa yang diperlukan tersebut. Mungkin pupuk yang sesuai dan pasokan air yang memadai sesuai dengan semua sifatnya agar mencapai pertumbuhan optimal.

Dfalam hal ini mengelola, membentuk, mengarahkan dan mengajari mendapatkan porsi. Mengasuh dan mendidik adalah selubung yang melingkupi semua hal tersebut. Mengasuh dan mendidik memerlukan kecakapan untuk menentukan kapan saat terbnaik untuk mengelola, membentuk, mengarahkan dan mengajari anak sehingga dengan begitu si anak bisa menemukan mumunculkan potensi dan karakteristik terbaik yang telah ada dalam dirinya.


1 Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sisdiknas dalam Abad 21, Safiria Insania Press, Yogyakarta,: 2003