Minggu, 01 Februari 2009

Freire dan Pemikiran Pendidikannya

Oleh: Tsania HD

Freire, “Kata yang diucapkan tanpa tindakan adalah verbalisme,

perkataan tanpa refleksi adalah aktifisme[1]

Cukup pelik dunia pendidikan. Berbagai metode dipakai guna meningkatkan kualitas pendidikan.Paulo Freire sebagai tokoh pendidikan menyampaikan metode ”dialog”, metode yang disosialisasikan oleh Freire untuk memaksimalkan kualitas pendidikan. Bahwa dialog adalah tindakan yang dapat mengubah dunia, yaitu proses pendidikan tanpa penindasan. Siswa tetap menjadi “manusia sejati” yaitu manusia yang faham akan realitas dirinya. Dan guru pun tetap menjadi “manusia sejati” yaitu manusia yang faham bahwa dia bukan Tuhan.

Saya contohkan kisah siswa dan guru sebuah madrasah tsanawiyah di Banyumas Jawa Tengah. Seorang guru masuk kelas tepat waktu sesuai jadwal. Begitu berada di kelas, ia menulis sebuah hadis yang panjang dan terjemahannya di papan tulis. Kemudian menyuruh siswa untuk menulis di buku tulisnya masing-masing. Setelah semua selesai, siswa satu per satu diminta menghafalkan hadis di depan kelas. Bagi yang belum hafal, ia harus berdiri di depan kursi duduknya masing-masing. Setelah waktu pembelajaran habis, guru langsung keluar ruang kelas tanpa bertanya, “ Siapa di antara kalian yang ingin bertanya?” Proses seperti ini tidaklah sebagaimana ide Freire dalam menjadi “manusia sejati”.

Sebenarnya Freire tidak mempersoalkan metode dalam pendidikan. Asal dalam prosesnya tetap ada humanisasi. Hal ini berangkat dari filsafat rekonstruksionalisme, dimana manusia pada hakikatnya bebas sesuai fitrahnya[2]. Bebas dalam arti bahwa manusia bebas melakukan apapun sesuai kehendak hati nuraninya. Kebebasan yang dimaksud adalah guna memaksimalkan potensi kemanusiaannya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dialog berperan sebagai radically necessary bagi keberhasilan proses penyadaran dan humanisasi[3]. Penyadaran akan hakikat manusia itu sangat diperlukan dalam dunia pendidikan, karena innama al-a’malu bi al-niyat. Pendidikan efektif hanya bagi orang-orang yang sadar bahwa dia membutuhkan. Ada niat untuk melakukan perubahan. Ada niat untuk membentuk diri menjadi “manusia sejati”.

Pada hakikatnya manusia mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya dengan bekal pikiran dan tindakan praksisnya, tanpa harus mengetahui doktrin agama, atau dengan bahasa lain, manusia otomatis bertindak sesuai fitrahnya. Ia dapat mengubah dunia dan realitas[4]. Namun, banyak orang di dunia ini menyadari dengan tingkatan kesadaran yang berbeda-beda[5], karena manusia memiliki pikiran dan perasaan, sedangkan hewan hanya memiliki naluri / insting. Membangkitlkan kesadaran orang lain adalah tugas kita sebagai pembeda dari hewan.

Pemikiran Freire ini lebih kurang dilatarbelakangi oleh realitas yang menimpa masa kecilnya. Di Brazil, keluarganya tergolong keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Ketika ia melihat banyak petani di desanya yang bekerja sepanjang hari, tetapi penghasilannya tetap minim, ia berkesimpulan bahwa dunia ini ada sebuah sistem penindasan. Mengapa pengusaha di pabrik-pabrik mempunyai harta melimpah sedang mereka bekerja tidak sepayah petani. Adalah karena tingkat pendidikan. Kebanyakan petani buta huruf. Maka, menurutnya pendidikan haruslah mampu menjawab realitas.

Oleh sebab itu, tugas pendidikan kini adalah merubah manusia jadi-jadian menjadi manusia sejati, salah satunya melalui proses dialog ala Freire. Guru dan siswa sama-sama menyadari bahwa keduanya saling melengkapi. Manusia sejati akan mampu mengendalikan realitas, bukan dikendalikan olehnya.



[1] Firdaus M. Yusuf, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, cet. Ke-2, (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.46

[2] Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2005), hlm.47

[3] Firdaus M. Yusuf, Pendidikan…., hlm.48.

[4] Toto Raharjo, et, al., Pendidikan Popular : Membangun Kesadaran Kritis, cet. Ke-3,( Yogyakarta : INSISTPress, 2007), hlm.49

[5] Ingat tidak, beberapa diskusi yang lalu, dan training DAD pernah dibahas?

BANGSA ARAB PRA ISLAM

oleh: Khairun Nisa

Bangsa Arab adalah penduduk asli jazirah Arab. Dalam struktur masyarakat Arab terdapat kabilah sebagai intinya, ia adalah organisasi keluarga besar yang biasanya hubungan antar anggotanya terikat oleh pertalian darah (nasab), ikatan perkawinan atau karena sumpah setia.[1] Masa sebelum kelahiran Islam disebut zaman jahiliyah. Zaman ini terbagi atas dua periode, yaitu jahiliyah pertama dan jahiliyah kedua. Jahiliyah pertama meliputi masa yang sangat panjang, tetapi tidak banyak diketahui hal ihwalnya dan sudah lenyap sebagian besar masyarakat pendukungnya. Adapun jahiliyah kedua, berlangsung kira-kira 150 tahun sebelum Islam lahir. Kata jahiliyah berasal dari kata jahl, bukan lawan kata ilm melainkan lawan kata hilm. Bangsa Arab sebelum Islam sudah mengenal dasar-dasar beberapa cabang ilmu pengetahuan, bahkan dalam hal seni sastra mereka telah mencapai tingkat kemajuan yang pesat. Akan tetapi, karena kememosotan moral mereka, maka label jahiliyah diberikan.

Menjelang pertengahan abad ke-6 sesudah masehi dunia berada dalam keadaaan gelap dan parah dalam tahayul yang merusak kehidupan spiritual manusia.[2] Sebagian besar menyembuah berhala, setiap kabilah memiliki patung sendiri sehingga tidak kurang dari 360 patung bertengger di ka’bah suci. Sebenarnya nama Allah telah digunakan dalam bahasa Arab lama sebelum zaman Muhammad, yaitu sejak zaman ibrahim dan Ismail yang semata-mata menyambah Allah. Dengan berjalannya waktu dan akibat pengaruh bangsa lain akhirnya orang Arab mulai menyambah berhala, tetapi secara nominal mereka masih mengakui eksistensi Allah dan mengatakan bahwa benda-benda berhala itu hanyalah tuhan-tuhan kecil. Mereka menyambah patung dengan maksud mendekatkan diri pada Allah swt. Rasulullah lahir dari kalangan bangsawan Quraiys, ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthallib dan ibunya bernama Aminah binti Wahab. Sejak kanak-kanak hingga masa muda beliau hidup sebagai yatim dan miskin, bergaul dnegan rakyat, kaum fakir miskin. Muhammad kecil adalah seorang penggembala domba. Allah belum pernah menjadikan seorang nabi yang bukan penggembala. Pekerjaan ini selaras dengan sifat lurus hati sehingga kehidupannya terhindar dan tidak tercemar dengan kehidupan kota. Sebelum Islam datang, orang Arab hidup dalam goncangan. Di antaranya gemar mengobarkan peperangan dan melancarkan serangan hanya karena sebab-sebab yang sangat remeh. Orang Arab terlampau membanggakan asal keturunan dan nenek moyang mereka. Mereka juga gemar minum arak, judi, merampok, balas dendam dan lain-lain. Orang Arab mempunyai kebiasaan poligami dengan tidak ada batasan jumlah istri dan dapat memilih calon istri menurut kemauannya. Orang-orang penduduk Mekkah tenggelam mengejar harta kekayaan, melakukan perdagangan dan riba, mereka tidak melihat adanya perbedaan antara riba dengan dagang serta tak menganal belas kasihan dalam menjalankan usaha dagang. Sebagaimana diungkapkan dalam Firman Allah yang artinya:

”Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba” (Al-Baqarah : 275)

  1. kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang
  2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi
  3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi (Al-Muthaffifiin: 1-3)

Di masa jahiliyah kaum fakir miskin praktis menjadi budak dan hamba sahaya kaum hartawan. Menurut guru besar Sayyid Abu al-Hassani an-Nadwi, Muhammad bin Abdullah saw diangkat sebagai nabi dan rasul dalam keadaan dunia ibarat bangunan yang sedang digoncang oleh gempa bumi sangat dasyat. Segala sesuatu tidak berada di tempatnya. Beliau mmenyaksikan manusia merendahkan martabat kemanusiaannya, membongkok-bongkok menyambah batu, pohon, sungai dan sebagainya. Beliau menyaksikan manusia tenggelam dalam minuman kleras, kejahatan, melapas uang riba serta perampokan yang melampaui batas. Manusia haus kekayaan dan kedzaliman hinggamenanam hidup-hidup anak perempuan dan membunuh anak laki-laki. Penguasa yang menjadikan dunia miliknya dengan hamba Allah sebagai budak belian. Menghalangi manusia-manusia yang mendekatkan diri pada Allah. Keberanian menjadi sadisme dan kebiadaban.

Sejak kanak-kanak masa muda beliau hidup sebagai yatim dan miskin. Beliau seorang diri dalam keyatiman dan kefakiran agar beliau hanya bergantung kepada Allah dan agar semangat para nabi tumbuh dalam diri beliau sendiri sedini mungkin. Beliau berseru mengumandangkan dakwah di tengah-tengah kaumnya dengan kejujuran, keikhlasan dan keimanan kepada Allah, diutus sebagai rahmat bagi alam semesta untuk menyebarkan agama Islam.

Dengan perjuangan akhirnya beliau berhasil memperbaiki keadaan masyarakat sehingga keadlilan dapat ditegakkan dengan sempurna, amnusia dapat hidup bebas dari kedzaliman dan p[erbudakan sehingga hidup dengan persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan.



[1] Sejarah Peradaban Islam, dari Masa Klasik Hingga Modern, Siti Maryam dkk. hlm.20.

[2] Tarikh Muhammad saw, Teladan Perilaku Umat, Tahia Al-Ismail, hlm.1.