Senin, 19 Januari 2009

Wanita Menurut Aristoteles dan Plato

Wanita Menurut Aristoteles dan Plato

Oleh: Tsania HD


Dalam falsafah Jawa wanita berarti “wani ditata”, yang artinya berani ditata / diatur. Mengapa demikian?


Filosof mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada hingga sekarang ini merupakan sub keilmuan dari ilmu Filsafat. Boleh dikatakan bahwa Filsafat adalah bapak segala ilmu. Maka, merunut kepada sejarah munculnya ilmu-ilmu, tulisan ini membahas pemikiran Aristoteles dan Plato sebagai tokoh filsafaf Yunani kuno, yaitu abad ke-4 SM (428-322 SM).


“Wanita adalah laki-laki yang belum lengkap”, ungkap Aristoteles, begitu ditulis Jostein Gaarder dalam bukunya Dunia Sophie. Wanita dalam hal reproduksi hanya bersifat reseptif dan pasif. Wanita hanya ladang, sedangkan laki-laki adalah benihnya. Jadi, sifat anak dituruni oleh ayahnya, bukan kedua orang tuanya. Dari awal munculnya ilmu, telah ada tokoh besar filsafat yang menyudutkan posisi wanita. Dari penjelasan sejarah ini, apa yang dapat kita simpulan?


Sama pendapat dengan Ilmu Biologi bahwa jenis kelamin anak ditentukan oleh sperma laki-laki, karena laki-laki memiliki pembawa sifat (kromosom) yang berbeda jenis yang dapat menentukan jenis kelamin janin. Diperkuat dengan ayat Al-Qur’an “…kemudian dari setetes mani…”(al-Hajj :5), Allah menciptakan manusia dari setetas mani, sedangkan mani adalah spermatozoid laki-laki.


Sedikit berbeda dengan Plato, ia menyatakan bahwa wanita sama dengan laki-laki dapat memimpin sebuah Negara / konstitusi. “Wanita dapat sama efektifnya dengan laki-laki dalam memimpin Negara karena mereka berdua sama menggunakan akal.”Asal, wanita dibebaskan dari kewajiban membesarkan anak dan mengurusi rumah tangga. Konsep Negara ideal menurut Plato, para pemimpin dan ksatria tidak boleh menjalani kehidupan rumah tangga. Karena pendidikan anak adalah sangat berharga, maka harus diserahkan kepengurusannya dari keluarga kepada Negara. Jika demikian, sama artinya Plato tidak mempercayai wanita dalam perpolitikan.


Kedua pendapat filosof besar mengenai wanita itu, menyudutkan perempuan yang secara fitrah (baca : takdir dari Allah SWT) dapat hamil dan melahirkan, yang disusul dengan mendidik anak. Maka, jika Plato mengatakan bahwa Negara secara institusi tidak akan efektif dipimpin oleh wanita yang hamil dan mendidik anak, penulis berbeda pendapat. Hamil dan mendidik anak merupakan tugas yang berat, sama seperti membawa Negara. Karena generasi muda adalah generasi di masa yang akan datang. Keberhasilan kepemimpinan Negara di masa mendatang akan terwujud jika anak dididik dengan baik oleh ibu bapaknya.


Kebudayaan Jawa dimana wanita adalah jenis kelamin yang diatur oleh jenis kelamin lainnya yaitu laki-laki, adalah imbas dari penganut Aristotelian. Mengapa sampai sekarang justru pendapat-pendapat yang menyudutkan wanita yang justru berkembang, dengan alasan fisik / reproduksi? Apakah memang benar faktanya, ataukah konstruk sejarah dan perkembangannya yang kebanyakan dicetuskan oleh jenis kelamin laki-laki? Apakah laki-laki memang memiliki kodrat untuk selalu mengatur wanita, dan menjajahnya?


Penulis belum menemukan teori yang membela kaum wanita (dalam hal tetap menjalani kodratnya dan aktif di dunia public-politik-negara). Ayat-ayat Al-Qur’an pun membatasi wanita hanya bekerja di ranah rumah tangga saja, karena itulah tugasnya. Ada pembagian tugas antara laki-laki dan wanita. Namun apabila peran public dipertukarkan, itu takkan menjadi masalah sepanjang kedua belah pihak suami istri dapat menyepakati.


Maka, tidak selayaknya konstruk budaya “laki-laki berperan di public dan wanita di domestic” disosialisasikan. Supaya tidak terjadi konflik rumah tangga. Dan tidak pula mufasir menafsirkan ayat dengan bias gender.



Tidak ada komentar: