Senin, 19 Januari 2009

“………………………”1

“………………………”1

Oleh: Adi Park


Menurut etimologi, kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab “akhlaq”, bentuk jamak dari mufrad khuluq, yang berarti “budi pekerti”. Sinonimnya adalah etika, moral. Etika berasal dari bahasa latin, “etos” yang berarti kebiasaan. Seangkan moral berasal dari “mores”, yang berarti kebiasaannya.2


Menurut ajaran Islam, sumber akhlak adalah Alquran dan sunnah, titik. Bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral. Dan bukan pula karena baik atau buruk dengan endirinya sebagaimana menurut mu’tazilah. Namun, apakah Islam menafikan peran hati? Hati nurani atau fitrah, dalam bahasa Alquran memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk, karena manusia diciptakan oleh Allah swt memiliki fitrah bertauhid, mengakui ke-Esaan-Nya (QS. Ar-Rum: 30) yang berimplikasi pada pencarian ajaran Tuhan dan merindukan kebenaran. Penting untuk diketahui bahwa fitrah adalah potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Sehingga, fitrah ini bisa tidak bisa berfungsi dengan baik ketika terpengaruh oleh factor luar, pendidikan dan lingkungan misalnya.3


Ruang lingkup akhlak sangat luas, secara vertical maupun horizontal. Dari situlah maka pembahasan akhlak dapat dibagi beberapa hal. Pertama, akhlak terhadap Allah swt. Kedua, akhlak kepada Rasulullah saw. Ketiga, akhlak kepada pribadi. Keempat, akhlak dalam keluarga. Kelima, akahlak bermasyarakat. Dan terakhir, akhlak bernegara.


Pembahasan akhlak, baik pengertian dan sumbernya, seperti tersebut di atas menjadikan kita berhenti berfikir. Alsannya, apalagi yang mau ditanyakan? Karena, selain Alquran dan Sunnah bukanlah sumber kebenaran mutlak (menurut pandangan Islam) dan kita dituntut secara “paksa” untuk mempercayainya. Maka tidak heran dengan pendidikan tersebut, banyak orang beragama yang perilakunya agama, namun otaknya “tidak” beragama. Sehingga yang ada keberagamanan untuk pribadi, bukan untuk orang lain.


Perilaku agama dan otak tidak agama maksudnya adalah menerima ajaran yang secara utuh dan tidk dikritisi. Keutuhan menerima ajaran agama memang benar, namun ketika yang diterima dan diamalkan itu adalah fikiran agama, maka hal itu kurang tepat. Seperti kita tahu pemikiran orang lain bias dipengaruhi oleh ideology, lingkungan hidup or keberadaannya, konteksnya.


Kiranya cukup seperti ini untuk mengawali program “KECERDASAN BERAGAMA”. Jika ada pertanya, bantahan karena ketidakjelasan apa hendak penulis sampaikan, maka itu adalah tugas kita.


Terakhir, penulis ingin bagi kata-kata ke temen-temen4, seperti ini: don’t afraid to make mistake5, ini dapat dijadikan motivasi, karena lebih baik tahu salah, daripada tidak. Semoga Tuhan memberi petunjuk kepada kita semua, Amin.


Pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain mu-tasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melaikan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “kami beriman kepada ayat-ayat uang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal (Ali Imran: 7)


Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (Ar-Raad: 19)



1 Disampaikan pada Diskusi Rutin Rabu, 9 Januari 2008, di UPT Perpus UIN Suka.

2 Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islam: Akhlak Mulia, cet.ke-2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), hlm.26.

3 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, cet.ke-4 (Yogyakarta: LPPI, 2004), hlm.4.

4 Temen-temen Park, yang tetep setia untuk berjihad memerangi kobodohan.

5 Makasih buanget.

Tidak ada komentar: